Kalimat judul tersebut muncul ketika saya pulang dari masjid. Tepatnya saat sholat ashar selesai saya berjalan pulang dengan jalan yang berbeda dari jalan waktu berangkat ke masjid. Disebuah sudut perempatan jalan ada sebuah rumah megah dengan pagar yang indah bak instansi yang penuh dengan keamanan. Di balik rumah tersebut ada seorang bapak yang sudah lanjut usia.
Orang tua yang mungkin kisaran umurnya antara 60 – 70 tahun itu terlihat dalam posisi merangkak disamping pagar besi. Dia memegang pagar besi dan menggerak – gerakanya seolah – olah ingin keluar dari rumah tersebut. Ketika saya amati, nampak bapak tersebut semakin keras menggoyangkan pagar dan seolah berteriak minta tolong untuk dibukakan. Saya hanya diam mengamati sambil tersenyum melempar sapa pada bapak tersebut.
Sebentar saya menghentikan langkah untuk melihat kondisi tersebut. Sangat ingin rasanya mendekat dan menyentuh beliau untuk menyampaikan keprihatinan dan kasih. Akan tetapi saya melihat di belakang beliau nampak seorang yang lebih muda duduk sambil menghisap rokoknya dan mengawasi dengan tenang. Perasaan iba dan segan beradu dalam dada, antara mendekat atau meneruskan langkah. Mungkin, rasa segan lebih kuat hingga akhirnya saya memilih untuk meneruskan langkah sambil memberi salam kepada orang yang lebih muda tersebut.
Di sepanjang jalan menuju rumah hati tak bisa tenang. Pertanyaan demi pertanyaan muncul di hati tentang kondisi bapak tersebut. Apakah ini?, apakah itu?, bagaimana?,dan mengapa?, semua minta jawaban dan selalu kucoba untuk berprasangka baik atas kondisi keduanya. Akan tetapi jika kondisi itu berulang gimana kiranya? Seorang anak yang memperlakukan orangtuanya seperti binantang peliharaan?, dikurung, dikasih makan, dan dimandikan kalau perlu?. Jika memang itu yang terjadi maka benarlah “Orangtua yang tidak beruntung dan anak yang akan celaka”. Sungguh, bagi saya lebih baik di panti tapi terawat dari pada di rumah tapi terkurung seperti hewan.